MALANG
Anak kecil
yang hanya hidup bersama Kakek dan Neneknya tanpa kehadiran kedua orang tuanya.
Ia ditinggal orang tuanya yang entah pergi kemana. Bagaimana tak rindu jika
kurang lebih 10 tahun ia ditinggalnya?
Arul tak pernah menginjakan kakinya dibangku sekolah lantaran biaya yang
tak mencukupinya. Melihat Neneknya yang hanya seorang pedagang pepes tahu.
Keuntungan menjual pepes tahu hanya cukup untuk berobat Kakeknya yang terbaring
lemah ditempat tidur dan untuk kebutuhan sehari – hari.
Pagi
buta, Nenek sudah bangun utuk menyiapkan sarapan dan membuat pepes tahu.
“Arul...Arul...Arul”
berteriak sambil menyiapkan sarapan.
“Iya, Nek.
Ada apa ya?
“Tolong
nanti Kakekmu suruh sarapan dan minum obat. Nanti kamu yang menyuapinya ya!”
“Iya, Nek”
“Nenek
berangkat dulu” menuju ke depan untuk membuka pintu
Suap demi
suap sepiring buburpun lenyap dimakan Kakeknya.
“Nah
sekarang Kakek minum obat ya” menakar obat dan memberikannya pada Kakek
“Makasih
ya cu, kamu begitu baik padaku” ujarnya
“Iya Kek,
Kakekkan yang menghidupiku sejak kecil”
“Semoga
orang tuamu yang menghilang cepat kembali”
“Aamiin Kek”
Sejenak
Arul diam dan merenung. Ia merasa kasihan pada Kakek dan Neneknya yang sudah
menginjak usia lanjut. Terkadang terlintas dalam pikirannya untuk bekerja
membantu Neneknya dan juga sekaligus untuk ia sekolah. Arul juga sangat
berharap kedua orang tuanya pulang kerumah dan memeluknya. Anak mana yang tak
ingin orang tuanya pulang dan memeluknya?
“Bagaimana
ya, jika aku ngamen saja? uangnya kan
bisa ku tabungkan dan juga untuk berobat Kakek”
Arul pun
meminta izin pada Kakeknya untuk pergi sekejap. Terpaksa ia harus berbohong
padanya karena tak tega melihat Kakek dan Neneknya yang sudah tua.
“Kek,
Arul mau pergi sebentar ya”
“Mau
kemana?”
“Mau main
sebentar sama temen – temen”
“Ya sudah
jangan lama – lama ya”
“Iya, Kek”
Dengan
gelas air minum plastik dan tutup botol kaca yang dipaku pada kayu, ia pun siap
ngamen di jalanan. Setiap warung dan mobil berhenti pada saat lampu merah ia
telusuri. Sedikit demi sedikit uang koin terkumpul meski tak sampai 100.000.
Berhubung matahari berada di atas kepala, Arul beristirahat di bawah pohon sambil
menghitung uang yang didapatnya. Matahari sudah bergeser, Arul pun mulai ngamen
lagi sampai senja tiba.
“Assalamualaikum,
Kek...Nek” sambil mengetuk pintu
“Dari
mana saja kamu? Kata kakek kamu main cuma sebentar tapi kenapa sampai malam baru
pulang?” bertanya dengan cemas.
“E...e..e,
aku habis main kok Nek cuma tadi terlalu asyik jadi nggak berasa, tau – tau udah
sore”
“Sekarang
cepat mandi lalu makan!”
“Iya, Nek”
Meskipun
sudah kena marah, Arul tidak kapok untuk terus ngamen sampai uangnya terkumpul
banyak. Setiap malam ia hanya bisa merenung dan menangis tentang kehidupannya
yang berbeda dengan teman – temannya. Mereka minta apa saja diberikan oleh
kedua orang tuanya, sedangkan Arul untuk makan saja susah apa lagi untuk yang
lain?
Dia selalu
menghayal tentang hidupnya bersama Ayah dan Ibunya dengan rumah besar dan
kebutuhan yang selalu tercukupi. Dia bisa sekolah, mempunyai banyak mainan
seperti teman – temannya dan tak banyak pikiran seperti orang dewasa. Kakek dan
Neneknya pun menikmati masa lansianya tanpa membanting tulang seperti sekarang
ini. Menurutnya, kehidupan itu tak akan pernah ada karena sampai sekarang pun
orang tuanya belum juga pulang.
Seperti
biasanya, setiap pagi Neneknya pergi untuk menjual pepes tahu. Sedangkan Kakeknya
masih sakit dan terbaring lemah di tempat tidur. Arul pun segera bergegas pergi
untuk mengamen. Dalam perjalanan ngamennya yang dibuat senang, ada sekumpulan
pengamen yang melihatnya. Pengamen tersebut meminta uang hasil jerih payahnya
yang ia kumpulkan sejak pagi.
“Heh,
kamu. Kenapa kamu ngamen di sini? Ini tuh kawasan kita, orang lain nggak boleh
kesini! Paham?!”
“Tapikan
ini tempat umum siapa saja boleh ngamen di sini”
“Halah
sudah, sekarang berikan uang itu pada kami!”
“Jangan! Ini uang hasil kerja kerasku sendiri untuk membantu Kakek dan Nenekku”
“Jangan! Ini uang hasil kerja kerasku sendiri untuk membantu Kakek dan Nenekku”
“Kami
nggak peduli! cepat berikan!”
Arul
didorong sampai jatuh di aspal dan lututnya lecet berdarah. Ia hanya bisa
menangis di bawah pohon.
“Hu...hu
kenapa hidupku seperti ini? Sakit rasanya kalau aku terus ngamen di sini,
uangnya diambil dengan cuma – cuma” bicara sambil menahan isak.
Semenjak
kejadian itu, Arul tidak lagi ngamen di situ. Dia mencari tempat yang tidak ada
saingannya.
Hari demi
hari ia lalui dengan mengamen. Meskipun hasilnya tak seberapa ia terus berjuang
untuk membantu Kakek dan Neneknya. Sampai suatu ketika Arul mengamen dan tiba –
tiba ia melihat seorang anak yang sebaya dengannya sedang membeli sepatu
bersama orang tuanya di sebuah toko. Ia hanya bisa melongo dan menitikan air
mata.
“Andai
saja Ayah dan Ibuku ada di sampingku pasti aku akan bahagia seperti dia,
meskipun mungkin aku tidak bisa membeli apa yang aku inginkan. Tapi setidaknya
mereka ada di sampingku, memelukku dan menyayangiku dengan sepenuh hati” tatapan
kosong dan meneteskan air mata.
“Ahh,
sudahlah aku tidak boleh nangis dan berharap yang tidak pasti, mending sekarang
lanjut ngamen” mengusap air matanya.
Seperti
biasa ia mengamen sampai sore dan sampai rumah kira – kira pukul 18.00 WIB.
Ke esokan
harinya tepat pukul 12.00 WIB, ia menjumpai teman – temannya yang baru pulang
sekolah.
“Hahaha
ternyata kau selama ini mengamen pantas saja tak bermain lagi dengan kita”
tunjuk salah satu anak yang berambut berintik.
“Biarkan
saja aku mengamen, apa urusannya denganmu?”
“Hahaha
si Arul tukang ngamen! tukang ngamen!" mengejek Arul
“Terserah
kau mau bilang aku ini apa yang penting aku mendapatkan uang ini dengan halal.
Tidak seperti kalian yang hanya bisa meminta pada orang tua!”
Soni
mendekat dan mencengkeram kerah baju Arul “Apa kau bilang?”
“Aku
bilang, kau hanya bisa meminta pada orang tua!!”
Soni
mengepalkan tangan kanannya dan berusaha memukul Arul tapi dengan sigap Arul
segera menangkis tangan Soni.
“Aku tak
selemah yang kau pikir, paham?! Aku peringatkan jangan pernah menghina orang
miskin lagi!” Arul melepas tangan Soni dengan keras dan meninggalkannya begitu
saja.
Setelah
lama ia berjalan, ia mendengar jeritan seorang Ibu – Ibu
“Tolong...tolong..tolong
tas saya dijambret” tunjuk Ibu tersebut kearah Bapak berambut gondrong.
Arul yang
melihatnya segera mengambil batu yang berada di sampingnya dan melemparkannya
kearah Bapak berambut gondrong si penjambret tersebut. Bapak berambut gondrong
tersebut pun terjungkal dan para warga berdatangan menghampiri penjambret
tersebut.
“Bug...bug...bug” suara
pukulan warga pada penjambret tersebut
Arul pun
mendekat “Tidak baik main hakim sendiri, bawa saja dia ke kantor polisi”
Warga
segera membawanya ke kantor polisi. Arul mengambil tas Ibu tersebut dan
memberikannya kepada Ibu tersebut.
“Terima kasih
nak” ucap Ibu tersebut
“Sama –
sama Bu” balas Arul
“Kamu
sudah makan?” tanya Ibu lagi
Arul
hanya menggeleng dan terus mengelak seakan – akan ia menolak tawarannya. Tapi
sebenarnya ia sangat lapar dan ingin menerima tawaran Ibu tersebut. Karena Ibu
tersebut terus memaksa untuk makan siang bersama, jadi Arul mengikuti
permintaannya
“Asyik, akhirnya aku makan gratis” bicara dalam hati sambil senyum – senyum
sendiri.
Di rumah
makan, Ibu tersebut bertanya tentang kehidupan Arul.
“Ngomong
– ngomong, siapa nama kamu?” tanya Ibu tersebut padanya
“Namaku
Arul Bu..” jawab Arul dengan malu – malu
“Kamu
sekolah dimana?”
Arul
hanya menggeleng lemas
“Oh
maaf ya nak, kamu tinggal dimana?”
“Rumahku
Bu, di ujung jalan sana” tunjuk Arul
“Apa
boleh Ibu main ke rumahmu?”
Arul
pun mengangguk. Setelah selesai makan, Arul pun menunjukkan rumahnya,
sesampainya di rumah Arul, Ibu tersebut terenyuh melihat keadaan rumah Arul dan
melihat Kakeknya yang terbaring lemah di tempat tidur.
“Silakan
duduk Bu” Arul mempersilakan duduk Ibu tersebut dan pergi ke dapur untuk
memanggil sang Nenek. Ibu tersebut melihat – lihat rumahnya Arul.
Arul
menepuk pundak Ibu tersebut dan memperkenalkan Neneknya.
“Bu,
perkenalkan ini Nenekku”
“Oh
iya, perkenalkan nama saya Lulu” Ibu tersebut menyalami Nenek Arul dan Nenek
juga membalas salaman darinya.
“Arul,
buatkan minum untuk Ibu Lulu!”
“Baik,
Nek” Arul pergi menuju ke dapur untuk membuatkan minum
Ibu
Lulu bercerita semua tentang apa yang dialaminya. Ia juga penasaran tentang
latar belakang Arul, akhirnya ia bertanya pada Neneknya. Nenek Arul pun
menceritakan latar belakang si Arul. Termasuk Ayah dan Ibunya yang pergi ke
luar negeri yang sampai sekarang tidak pernah kembali dan memberi kabar.
Arul
menuju ke depan dan menyuguhkan secangkir teh manis
“Silakan diminum Bu!”
“Oh
iya terima kasih”
“Arul
tadi Kakek sudah minum obat?”
“Sudah kok Nek, baru saja”
“Nek,
Arul. Kalau boleh saya berniat menyekolahkan Arul”
“Ibu
serius?” Nenek terharu mendengarnya
“Iya,
saya serius” tersenyum padanya
“Aku
tidak mimpi kan Nek?” sambil menampar pipinya sendiri
“Tidak
Arul, mulai besok kamu akan sekolah seperti teman – temanmu”
“Terimakasih
banyak Bu” sambil mencium tangan Ibu Lulu
“Iya,
sama – sama nak”
Setiap
harinya Arul menjalani kehidupannya. Kehidupan yang baru tepatnya. Ia sangat
senang karena bisa merasakan bangku sekolah. Walaupun biaya hidupnya sudah
ditanggung oleh Ibu Lulu, tetapi ia masih mengamen untuk membantu Kakek dan
Neneknya. Ia bercita – cita menjadi dokter agar nantinya ia bisa menyembuhkan
Kakeknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar