Boucing Smiley Star

Minggu, 18 Desember 2016

Cerpen "Malang"



MALANG
Anak kecil yang hanya hidup bersama Kakek dan Neneknya tanpa kehadiran kedua orang tuanya. Ia ditinggal orang tuanya yang entah pergi kemana. Bagaimana tak rindu jika kurang lebih 10 tahun ia ditinggalnya?  Arul tak pernah menginjakan kakinya dibangku sekolah lantaran biaya yang tak mencukupinya. Melihat Neneknya yang hanya seorang pedagang pepes tahu. Keuntungan menjual pepes tahu hanya cukup untuk berobat Kakeknya yang terbaring lemah ditempat tidur dan untuk kebutuhan sehari – hari.
Pagi buta, Nenek sudah bangun utuk menyiapkan sarapan dan membuat pepes tahu.
“Arul...Arul...Arul” berteriak sambil menyiapkan sarapan.
“Iya, Nek. Ada apa ya?
“Tolong nanti Kakekmu suruh sarapan dan minum obat. Nanti kamu yang menyuapinya ya!”
“Iya, Nek”
“Nenek berangkat dulu” menuju ke depan untuk membuka pintu
Suap demi suap sepiring buburpun lenyap dimakan Kakeknya.
“Nah sekarang Kakek minum obat ya” menakar obat dan memberikannya pada Kakek
“Makasih ya cu, kamu begitu baik padaku” ujarnya
“Iya Kek, Kakekkan yang menghidupiku sejak kecil”
“Semoga orang tuamu yang menghilang cepat kembali”
“Aamiin Kek”
Sejenak Arul diam dan merenung. Ia merasa kasihan pada Kakek dan Neneknya yang sudah menginjak usia lanjut. Terkadang terlintas dalam pikirannya untuk bekerja membantu Neneknya dan juga sekaligus untuk ia sekolah. Arul juga sangat berharap kedua orang tuanya pulang kerumah dan memeluknya. Anak mana yang tak ingin orang tuanya pulang dan memeluknya?
“Bagaimana ya, jika aku ngamen saja?  uangnya kan bisa ku tabungkan dan juga untuk berobat Kakek”
Arul pun meminta izin pada Kakeknya untuk pergi sekejap. Terpaksa ia harus berbohong padanya karena tak tega melihat Kakek dan Neneknya yang sudah tua.
“Kek, Arul mau pergi sebentar ya”
“Mau kemana?”
“Mau main sebentar sama temen – temen”
“Ya sudah jangan lama – lama ya”
“Iya, Kek”
Dengan gelas air minum plastik dan tutup botol kaca yang dipaku pada kayu, ia pun siap ngamen di jalanan. Setiap warung dan mobil berhenti pada saat lampu merah ia telusuri. Sedikit demi sedikit uang koin terkumpul meski tak sampai 100.000. Berhubung matahari berada di atas kepala, Arul beristirahat di bawah pohon sambil menghitung uang yang didapatnya. Matahari sudah bergeser, Arul pun mulai ngamen lagi sampai senja tiba.
“Assalamualaikum, Kek...Nek” sambil mengetuk pintu
“Dari mana saja kamu? Kata kakek kamu main cuma sebentar tapi kenapa sampai malam baru pulang?”  bertanya dengan cemas.
“E...e..e, aku habis main kok Nek cuma tadi terlalu asyik jadi nggak berasa, tau – tau udah sore”
“Sekarang cepat mandi lalu makan!”
“Iya, Nek”
Meskipun sudah kena marah, Arul tidak kapok untuk terus ngamen sampai uangnya terkumpul banyak. Setiap malam ia hanya bisa merenung dan menangis tentang kehidupannya yang berbeda dengan teman – temannya. Mereka minta apa saja diberikan oleh kedua orang tuanya, sedangkan Arul untuk makan saja susah apa lagi untuk yang lain?
Dia selalu menghayal tentang hidupnya bersama Ayah dan Ibunya dengan rumah besar dan kebutuhan yang selalu tercukupi. Dia bisa sekolah, mempunyai banyak mainan seperti teman – temannya dan tak banyak pikiran seperti orang dewasa. Kakek dan Neneknya pun menikmati masa lansianya tanpa membanting tulang seperti sekarang ini. Menurutnya, kehidupan itu tak akan pernah ada karena sampai sekarang pun orang tuanya belum juga pulang.
Seperti biasanya, setiap pagi Neneknya pergi untuk menjual pepes tahu. Sedangkan Kakeknya masih sakit dan terbaring lemah di tempat tidur. Arul pun segera bergegas pergi untuk mengamen. Dalam perjalanan ngamennya yang dibuat senang, ada sekumpulan pengamen yang melihatnya. Pengamen tersebut meminta uang hasil jerih payahnya yang ia kumpulkan sejak pagi.
“Heh, kamu. Kenapa kamu ngamen di sini? Ini tuh kawasan kita, orang lain nggak boleh kesini! Paham?!”
“Tapikan ini tempat umum siapa saja boleh ngamen di sini”
“Halah sudah, sekarang berikan uang itu pada kami!”
“Jangan! Ini uang hasil kerja kerasku sendiri untuk membantu Kakek dan Nenekku”
“Kami nggak peduli! cepat berikan!”
Arul didorong sampai jatuh di aspal dan lututnya lecet berdarah. Ia hanya bisa menangis di bawah pohon.
“Hu...hu kenapa hidupku seperti ini? Sakit rasanya kalau aku terus ngamen di sini, uangnya diambil dengan cuma – cuma” bicara sambil menahan isak.
Semenjak kejadian itu, Arul tidak lagi ngamen di situ. Dia mencari tempat yang tidak ada saingannya.
Hari demi hari ia lalui dengan mengamen. Meskipun hasilnya tak seberapa ia terus berjuang untuk membantu Kakek dan Neneknya. Sampai suatu ketika Arul mengamen dan tiba – tiba ia melihat seorang anak yang sebaya dengannya sedang membeli sepatu bersama orang tuanya di sebuah toko. Ia hanya bisa melongo dan menitikan air mata.
“Andai saja Ayah dan Ibuku ada di sampingku pasti aku akan bahagia seperti dia, meskipun mungkin aku tidak bisa membeli apa yang aku inginkan. Tapi setidaknya mereka ada di sampingku, memelukku dan menyayangiku dengan sepenuh hati” tatapan kosong dan meneteskan air mata.
“Ahh, sudahlah aku tidak boleh nangis dan berharap yang tidak pasti, mending sekarang lanjut ngamen” mengusap air matanya.
Seperti biasa ia mengamen sampai sore dan sampai rumah kira – kira pukul 18.00 WIB.
Ke esokan harinya tepat pukul 12.00 WIB, ia menjumpai teman – temannya yang baru pulang sekolah.
“Hahaha ternyata kau selama ini mengamen pantas saja tak bermain lagi dengan kita” tunjuk salah satu anak yang berambut berintik.
“Biarkan saja aku mengamen, apa urusannya denganmu?”
“Hahaha si Arul tukang ngamen! tukang ngamen!" mengejek Arul
“Terserah kau mau bilang aku ini apa yang penting aku mendapatkan uang ini dengan halal. Tidak seperti kalian yang hanya bisa meminta pada orang tua!”
Soni mendekat dan mencengkeram kerah baju Arul “Apa kau bilang?”
“Aku bilang, kau hanya bisa meminta pada orang tua!!”
Soni mengepalkan tangan kanannya dan berusaha memukul Arul tapi dengan sigap Arul segera menangkis tangan Soni.
“Aku tak selemah yang kau pikir, paham?! Aku peringatkan jangan pernah menghina orang miskin lagi!” Arul melepas tangan Soni dengan keras dan meninggalkannya begitu saja.
Setelah lama ia berjalan, ia mendengar jeritan seorang Ibu – Ibu
“Tolong...tolong..tolong tas saya dijambret” tunjuk Ibu tersebut kearah Bapak berambut gondrong.
Arul yang melihatnya segera mengambil batu yang berada di sampingnya dan melemparkannya kearah Bapak berambut gondrong si penjambret tersebut. Bapak berambut gondrong tersebut pun terjungkal dan para warga berdatangan menghampiri penjambret tersebut.
“Bug...bug...bug” suara pukulan warga pada penjambret tersebut
Arul pun mendekat “Tidak baik main hakim sendiri, bawa saja dia ke kantor polisi”
Warga segera membawanya ke kantor polisi. Arul mengambil tas Ibu tersebut dan memberikannya kepada Ibu tersebut.
“Terima kasih nak” ucap Ibu tersebut
“Sama – sama Bu” balas Arul
“Kamu sudah makan?” tanya Ibu lagi
Arul hanya menggeleng dan terus mengelak seakan – akan ia menolak tawarannya. Tapi sebenarnya ia sangat lapar dan ingin menerima tawaran Ibu tersebut. Karena Ibu tersebut terus memaksa untuk makan siang bersama, jadi Arul mengikuti permintaannya
“Asyik, akhirnya aku makan gratis”  bicara dalam hati sambil senyum – senyum sendiri.
Di rumah makan, Ibu tersebut bertanya tentang kehidupan Arul.
          “Ngomong – ngomong, siapa nama kamu?” tanya Ibu tersebut padanya
          “Namaku Arul Bu..” jawab Arul dengan malu – malu
          “Kamu sekolah dimana?”
          Arul hanya menggeleng lemas
          “Oh maaf ya nak, kamu tinggal dimana?”
          “Rumahku Bu, di ujung jalan sana” tunjuk Arul
          “Apa boleh Ibu main ke rumahmu?”
          Arul pun mengangguk. Setelah selesai makan, Arul pun menunjukkan rumahnya, sesampainya di rumah Arul, Ibu tersebut terenyuh melihat keadaan rumah Arul dan melihat Kakeknya yang terbaring lemah di tempat tidur.
          “Silakan duduk Bu” Arul mempersilakan duduk Ibu tersebut dan pergi ke dapur untuk memanggil sang Nenek. Ibu tersebut melihat – lihat rumahnya Arul.
          Arul menepuk pundak Ibu tersebut dan memperkenalkan Neneknya.
          “Bu, perkenalkan ini Nenekku”
          “Oh iya, perkenalkan nama saya Lulu” Ibu tersebut menyalami Nenek Arul dan Nenek juga membalas salaman darinya.
          “Arul, buatkan minum untuk Ibu Lulu!”
          “Baik, Nek” Arul pergi menuju ke dapur untuk membuatkan minum
          Ibu Lulu bercerita semua tentang apa yang dialaminya. Ia juga penasaran tentang latar belakang Arul, akhirnya ia bertanya pada Neneknya. Nenek Arul pun menceritakan latar belakang si Arul. Termasuk Ayah dan Ibunya yang pergi ke luar negeri yang sampai sekarang tidak pernah kembali dan memberi kabar.
          Arul menuju ke depan dan menyuguhkan secangkir teh manis 
          “Silakan diminum Bu!”
          “Oh iya terima kasih”
          “Arul tadi Kakek sudah minum obat?”
          “Sudah kok Nek, baru saja”
          “Nek, Arul. Kalau boleh saya berniat menyekolahkan Arul”
“Ibu serius?” Nenek terharu mendengarnya
“Iya, saya serius” tersenyum padanya
“Aku tidak mimpi kan Nek?” sambil menampar pipinya sendiri
“Tidak Arul, mulai besok kamu akan sekolah seperti teman – temanmu”
“Terimakasih banyak Bu” sambil mencium tangan Ibu Lulu
“Iya, sama – sama nak”
Setiap harinya Arul menjalani kehidupannya. Kehidupan yang baru tepatnya. Ia sangat senang karena bisa merasakan bangku sekolah. Walaupun biaya hidupnya sudah ditanggung oleh Ibu Lulu, tetapi ia masih mengamen untuk membantu Kakek dan Neneknya. Ia bercita – cita menjadi dokter agar nantinya ia bisa menyembuhkan Kakeknya.



                         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar